Beberapa orang lebih suka memutar-balikkan fakta, mengarahkan citra subjektif yang harusnya terlihat irasional, menjadi cerita yang seolah objektif untuk membuat skema kenyataan baru (baca; semu) dan merepresentasi secara "kreatif" kenyataan tersebut ke hadapan publik.
Dalam proses rumit ini, yang pastinya harus dibungkam adalah suara-suara dari pelaku sejarah yang senyatanya memahami kondisi objektif dari kacamatanya yang terpencar-pencar. Dalam aplikasi kemudian, hal ini memaksa pihak yang berkepentingan untuk objektif dan mengumpulkan data terlebih dahulu sebelum ikut dalam penengahan kronologis; ikut terlibat dan melakukan pemutusan dan penilaian.
Dalam hal kekinian, sosial media merupakan wahana yg direkayasa secara subjektif oleh pemilik identitas demi menunjukkan sisi tertentu berhadapan dengan publik. Orang yang ingin terlihat alim kemudian mengemukakan kealimannya di depan publik. Sebaliknya seseorang yang ingin terlihat jantan dan garang; seperti bintang rock misalnya, akan menunjukkan sisi tersebut untuk mencitrakan dirinya tersebut kepada publik.
Bentuk pencitraan pribadi ini adalah perayaan terhadap narsisme pribadi menjadi "seolah alim" atau bahkan "seolah rock-star". Keseolahan ini lah yang kemudian menjadi pelayanan ego-sentrisme berhadapan dengan publik. Padahal pribadi sebenarnya akan lebih dikenal dengan pendekatan pribadi dengan kurun waktu pengenalan yang cukup panjang.
Dewasa ini,metode ini lebih sering ditemui pada mayoritas pengguna jejaring sosial